Awal Juni lalu, saya diajak seorang kawan untuk menemaninya ke Salatiga. Sebenarnya perjalanan ini bukan dalam rangka travelling, melainkan untuk pemberkasan pekerjaan yang setidaknya akan ia jalani dalam sepuluh tahun ke depan. Meski berdurasi pendek (hanya 2 hari satu malam saja), namun semalam di Salatiga cukup membekas di ingatan saya. Ternyata banyak hal baru yang saya temui di kota yang dikenal luas dengan kuliner sate suruhnya ini.

Jogja – Salatiga sebenarnya bisa ditempuh dengan bus. Namun kawan saya lebih memilih untuk naik travel saja. Kebetulan jarak pool travel pilihannya lebih dekat dengan rumah kami. Setelah tiga jam perjalanan, sampailah kami di kawasan yang dinobatkan sebagai Kota Paling Toleran se-Indonesia versi Setara Institute ini. Tidak berselang lama, ternyata motor sewaan yang akan kami pakai sehari kedepan juga sudah datang. Tak ingin membuang waktu, kami pun langsung menuju ke penginapan.

Setidaknya ada beberapa catatan yang menarik di kota yang mataharinya tidak seterik Jogja ini. Pertama, saya agak kaget karena masih melihat kehidupan angkutan mini (kol) berwarna biru yang bisa masuk di gang-gang kecil. Hal-hal sepele semacam ini selalu mengingatkan saya pada masa-masa perjuangan puluhan tahun silam. Angkot mini semacam ini praktis membawa kenangan semasa sekolah di Jogja maupun ingatan pada pekerjaan pertama di sekitar Pasar Rebo sana.

Bahkan pertama kali main dan menginap di rumah kerabat kawan saya di Bogor, yang saya ingat itu angkotnya. Pasalnya saya dibuat kaget perkara angkot yang bisa masuk perumahan. “Lho kok enak banget ini, Yak. Turun angkot bisa di depan rumah gini”, ujar saya pada Iyak. Kawan SMA yang kebetulan jadi teman kuliah saya. Harap maklum, di tempat tinggal saya. Angkot itu cuma lewat jalan besar saja. Dari jalan besar ke rumah, kalau tidak dijemput ya mesti jalan kaki.

Untuk pertama kalinya juga saya itu nginep di hotel yang gangnya masuk ke area ruko-ruko kecil. Udah gitu parkirannya di halaman pula. Plus karcis parkirnya juga kudu dicap dulu tiap mau masuk hotel. Kaya agak ribet aja gitu kalau mau keluar masuk hotel. Tapi paling epicnya bukan itu, sih. Melainkan adegan pak satpam yang kaya berlari seolah mau nyegat kita lalu mengeluarkan pertanyaan, “Ada yang bisa dibantu, mbak?”. Tentu saja dengan entengnya saya jawab: “Enggak, pak. Kita cuma mau nginep aja, wkwkwk”.

Sontak bergumam “Apa kita kaya gelandangan banget, Er?”.

Kawan saya hanya tertawa saja. Mungkin tanpa mengiyakan. LOL.

Sesampainya di hotel, kita bersih-bersih sebentar. Lanjut sholat dan cek lokasi untuk pemberkasan kawan saya. Pasa keluar hotel nih, saya agak kaget karena lokasinya terbilang agak kotor. Modelan pasar tradisional yang tumplek bleg gitu lho. Tapi ini cuma pemandangan satu, dua menit saja sih. Sesampainya di jalan raya, over all saya suka dengan suasana Salatiga yang sejuk dan tidak macet meski kita keluar di jam rawan macet alias jam keluar kantor.

Sore itu kita memutuskan untuk mampir ke salah satu ikon kuliner Salatiga, yakni sate suruh. Kita milih warung  Sate Sapi Suruh dan Bakso Bu Hakim. Sate suruh ini pilihannya ada dua. Pertama ada sate sapi, kedua pilihannya sate ayam. Tentu saja saya memilih sate sapi. Karena sate ayam mah di Jogja juga banyak, pikir saya waktu itu. Lagian dari segi harga, keduanya nggak beda jauh. Cuma selisih 7 ribu saja. Sate sapinya Rp40.000, sedang sate ayamnya Rp30.000. Tapi ternyata, pikiran saya salah gaesssss. Sate ayam di sini itu beda. Untungnya teman saya pesan yang ayam. Jadi bisa saling mencicipi.

Ternyata sate suruh ini bukan seperti sate-sate yang banyak saya temui di Jogja. Basic bumbu sate suruh itu seperti rempah. Jadi bukan cuma bumbu kacang saja. Jadi pas digigit, kerasa banget bumbu rempahnya. Over all saya suka sama citarasa keduanya. Cuma pas diguyur sama bumbu kacang, rasanya jadi kurang balance. Perkaranya Cuma satu. Di lidah saya bumbu kacangnya terasa kemanisan. Ternyata kawan saya juga mengiyakan. Bumbu kacangnya terlalu manis. Untungnya saya bisa makan pedas, jadi bumbu kacangnya agak terselamatkan oleh pedasnya sambal.

Untuk harga segitu, sate suruh ini worthed banget buat dicoba. Apalagi kalau perut sedang lapar-laparnya. Pasalnya, sate suruh ini porsinya gede banget gaessss. Seporsi sate suruh pakai separo ketupat berukuran besar yang ukurannya sebesar tangan saya. Sewaktu membayar, saya menyempatkan Tanya pada mbak-mbak yang jaga kasir. Apakah boleh pesan satenya setengah porsi saja. Teryata boleh-boleh aja. Wah tahu gitu aku pesan setengah porsi aja. Soalnya saking kenyangnya sore itu, kita pending buat nyicip Ronde Jago yang lokasinya super dekat dengan Sate Suruh Bu Hakim ini.

Oiya, di warung sate ini juga menyediakan menu nasi sop, sop iga, empal dan sop empal juga ya gaes. Jadi kalau mau pesan yang panas-panas selain mie ayam dan bakso, bisa nyicip beberapa menu baru yang tersedia di warung ini. Kalau pesan satenya setengah, bisa banget nih sekalian buat nyicip sop-sopan-nya juga.Biar ga kepanjangan, cerita selanjutnya aku tulis di part 2 aja ya gaes…

Salam hangat dari Jogja,

-Retno-