Perihal Ekonomi yang Sedang Tidak Baik-Baik Saja

Cari uang makin susah tapi ngabisinnya makin mudah saja.

Semenjak merasa cari uang makin susah tapi ngabisinnya makin mudah saja tuh diskon tak terduga dari “toko ijo” jadi  semenyenangkan itu. Kalau lagi senggang plus tidak banyak pikiran  ada saldo Gopay yang nanggur, saya jadi suka ngecekin harga barang incaran yang jauh-jauh hari sudah saya masukkan di keranjang belanja. Biasanya sih scrolling-nya sesaat sebelum mapan di atas dipan. Siapa tahu ada barang yang diskonnya lumayan. Kebetulan tadi sempat lihat story temen yang ngepost sabun seharga seratus ribuan jadi belasan ribu saja.

“Siapa tahu ketiban voucher gede juga”, batin saya penuh harap.

Semenit mengamati beberapa promo di “toko ijo”, saya agak kaget mendapati pilihan voucher yang tersemat pada beberapa buku incaran saya. Di salah satu toko buku indie ini misalnya. Mosok Buku Kisah Kasih dari Dapur karya Wilda Yanti seharga 48 ribu kok vouchernya sampai 42 ribu. Setara 87,5% dari harga barang , dong. Sudah gitu komposisi vouchernya terbilang lain dari biasanya pula! Macam episode hari kebalikan yang dulu pernah tayang dalam serial Spongebob Square Pants.

Dapa Voucher dari Toko Ijo (Dokumentasi Pribadi)
Dapa Voucher dari Toko Ijo (Dokumentasi Pribadi)

Biasanya kan voucher 40 ribu itu potongan ongkirnya saja sudah 30 ribu sendiri, kan? Sisanya baru besaran diskon yang dinanti-nanti itu. Tapi setelah saya amati berulang kali, voucher kali ini kok persentasenya hampir fifty fifty. Diskonnya sampai 20 ribu, bebas ongkirnya 22 ribu. “Lumayan banget”, ucap saya sembari nyengir di depan hp Cina kesayangan yang layarnya sudah mbarit itu. Jadilah Selasa malam lalu saya dapat satu buku bacaan baru dengan harga nyaris setengahnya saja.

Karena penasaran, saya iseng ngecek isi keranjang belanja saya yang lain. Di luar dugaan, ada satu buku lain yang bertabur voucher serupa. Alhasil ada satu buku incaran yang harganya jadi 10 ribuan saja. Itu pun masih kedapatan ada voucher bebas ongkir yang bisa diklaim meski hanya belanja sebiji buku saja.

Sebagai konsumen yang sedang ngirit, saya cukup senang mendapati saldo Gopay sebesar 41.300 bisa ditukar dengan dua buku ori yang kedatangannya sudah lama saya nanti. Maklum jajan buku saya bulan lalu itu melampaui budget. Jadi bulan ini jajan bukunya tipis-tipis saja. Eh, nggak tahunya malah ketiban diskon.

Sayangnya rasa bahagia tersebut hanya bertahan sebentar saja. Dua-tiga menit kemudian saya jadi mikir: “Selain mendadak merasa sebagai konsumen yang ndremis diskon (padahal dulunya nggak gitu-gitu amat), “hujan promo dari “toko ijo” yang saya nikmati barusan bukannya menandakan daya beli masyarakat sedang terjun bebas, ya?”.

Data BPS pun menunjukkan hal senada. Bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini tercatat melambat dari 5,11% (triwulan I) ke 5,05% (triwulan II) saja. Rubrik ekonomi Kompas juga merilis bahwa pertumbuhan ekonomi triwulan III tahun ini diperkirakan sulit mencapai angka 5 persen. Pasalnya dua indikator utama pertumbuhan ekonomi yakni kinerja industri manufaktur dan konsumsi masyarakat tengah melemah.

Saya dan beberapa teman juga sering rasan-rasan soal jarangnya beli barang diluar kebutuhan pangan dan keperluan sekolah. Jangankan buat jalan-jalan, anggaran buat jajan skincare pun kini mulai banyak dipangkas. Kalau dulu suka coba-coba produk buatan Korea, sekarang ngliriknya produk lokalan Indonesia saja. Itupun milih yang terjangkau di kantong paska Covid. Plus makai skincare-nya wajib setipis mungkin.

“Duit sejuta saiki raono ajine. Meh diirit kaya apa tetep cepet entek. Apa meneh nek males masak. Kerasa banget le was wus was wus”, ujar kawan saya pada suatu siang.

(Baca: “Duit sejuta sekarang kaya ga ada “ajinya / powernya”. Mau ngirit kaya apa tetap cepat habis. Apalagi kalau males masak. Kerasa banget “nguapnya / habisnya”).

“Orang yang masih sendiri saja kerasa banget, kok. Apalagi kalian yang bawa dua  krucil setiap kali makan. Belum kalau orang tua atau mertua ikutan juga”, balas saya di WhatsApp Group “Ketemuan Yuk”. Grup rasan-rasan yang isinya cuma sisa-sisa lima teman seangkatan kuliah yang kini menetap di Jogja. Sesuai dengan namanya, ketemuannya pol mentok cuma sebulan sekali. Tapi ya gitu, rasan-rasannya hampir setiap hari.

Belakangan ini teman-teman saya yang masuk kelas menengah juga mulai mengeluh perihal trend “memakan” uang tabungan untuk memenuhi keperluan harian. “Apalagi yang kerjaannya freelance kaya aku gini. Pas nggak dapat jadwal ngajar tuh di satu sisi seneng karena bisa istirahat, tapi di sisi lain jadi puyeng karena pendapatan bakal berkurang”, ujar kawan saya yang sama-sama merasakan robohnya usaha rintisan sejak tahun pertama Covid dinyatakan masuk ke Indonesia.

Saya dan Geng Rasan-Rasan
Saya dan Geng Rasan-Rasan

Dari sekian banyak obrolan kami, ada satu teman saya yang ekonominya tidak goyah meski bertahun-tahun ditempa pandemi. Sejak tahun 2016 sampai sekarang, setiap bulan ia masih bisa invest emas. Kadang emas batangan, kadang perhiasan. Sebut saja dia Bunga. Memang sih, suami Bunga ini kerja di bidang tambang. Tapi ada banyak aspek yang saya suka dari teman saya ini.

Sejak menikah, dia tuh nggak malu buat nyoba berbagai usaha, mulai dari bikin angkringan, buka tempat cuci kendaraan sampai buka warung bebek. Meski usaha angkringannya terpaksa tutup karena ditipu pegawai, namun dua usaha lainnya masih berjalan sampai sekarang. Ngagetinnya lagi, barusan dia cerita kalau sekarang punya hobi baru. “Aku sekarang suka beli gabah milik tetangga”, ujarnya membuka cerita.

Gabah itu sebutan untuk panenan biji padi yang belum digiling. Jadi masih utuh sekulit-kulitnya. Kan gokil ya, udah mapan tapi nggak pernah mau “diam”.

“Baru jalan dua tahunan. Tapi sekarang mulai bingung nyimpennya dimana karena sudah kehabisan tempat”, tambahnya kemudian.

Mindblowing banget sih? Kita (temen-temennya di group Ketemuan Yuk) nggak ada yang nyangka kalau sekarang Bunga merangkap jadi juragan gabah.

Dari Bunga saya belajar, bahwa semangat berjuang tidak boleh padam ditelan ketakutan. Sekarang mindset “Cari uang makin susah tapi ngabisinnya makin mudah” pun saya auto ganti dengan “Mudah cuan, mudah cuan, mudah cuan. Biar bisa menuhin kebutuhan tanpa mikir besaran diskonan”.  

Terinspirasi dari teman saya yang gokil tadi, selain menulis, sekarang mulai jualan lagi. Kadang jual matoa, kadang jual panenan kombucha. Prinsip saya sih nggak perlu malu untuk setiap usaha yang sedang diperjuangkan. Tetap kuat ya teman-teman semua. Asal niatnya baik dan tidak merugikan pihak lain, saya percaya pasti ada saja jalannya.

Salam hangat dari Jogja,

-Retno-

Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI.

Retno Septyorini

Perkenalkan, nama saya Retno Septyorini, biasa dipanggil Retno. Saya seorang content creator dari Jogja. Suka cerita, makan & jalan-jalan. Kalau ke Jogja bisa kabar-kabar ya..

YOU MIGHT ALSO LIKE

No Comment

Leaver your comment