Inspirasi dari Desa Batik Tegalrejo: Ketika Potensi Alam Disajikan Melalui Ragam Produk Kekinian
Teduh dan sejuk. Begitu kira-kira kesan pertama yang saya rasakan saat memasuki kawasan Desa Tegalrejo, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul (GK) pada Sabtu, 29 Februari lalu. Sejak memasuki area di perbatasan Klaten dan Gunung Kidul ini, hijaunya pemandangan tersaji apik di hadapan kami. Saat kaca mobil dibuka, tak ayal hawa sejuk pun langsung menghampiri.
Sejujurnya saya cukup kaget mendapati desa asri begini di kawasan Gunungkidul. Harap maklum, puluhan tahun silam kabupaten ini memang dikenal sebagai lahan gersangnya Jogja. Apalagi kalau berbicara soal Gedangsari. Sebuah kecamatan yang dulunya dikenal sebagai salah satu kawasan miskin di Kota Bakpia. Sungguh di luar dugaan selang berpuluh tahun kemudian, kawasan ini dikenal sebagai salah satu sentra penghasil batik warna alam yang cukup disegani.
Selayang Pandang Tentang Desa Batik Tegalrejo
Sesampainya di balai desa, sambutan dan keramah-tamahan warga semakin menambah hangat suasana. Tak sabar rasanya berkeliling desa yang masih asri nan rupawan ini.
“Selamat datang di Desa Batik Tegalrejo”, sambut Mas Dwi. Salah satu panitia Famtrip Desa Tegalrejo yang kami temui pagi itu.
Tak disangka, baru selangkah melewati pintu balai desa, lagi-lagi kami disambut dengan senyuman warga dan beberapa panitia yang ada, lengkap dengan suguhan jamu dan kudapan godhogan (rebusan) seperti pisang, ketela dan kacang yang cukup menggoda selera.
“Monggo, dicicipi jamu dan snack ndesonya, Mbak. Asli bikinan ibu-ibu di sini”, ujar Mas Dwi kemudian.
Tanpa perlu diaba, satu per satu dari peserta Famtrip Desa Batik Tegalrejo kali ini pun mengambil segelas jamu dan sepincuk kudapan pilihan yang telah disediakan. Ya, pagi itu kami tidak menemukan satu pun piring kertas ataupun piring plastik yang biasa digunakan sebagai tempat snack, melainkan tumpukan pincuk yang terlihat “menggunung” di sudut meja tamu. Pincuk sendiri sebutan untuk tempat makan khas pedesaan yang dibuat dari potongan daun pisang yang disemat dengan lidi.
Sebagai penikmat sustainable tourism, sentuhan-sentuhan sederhana semacam inilah yang semakin meyakinkan saya bahwa sejatinya berbagai kearifan lokal dari desa di pelosok Indonesia kini semakin layak untuk diangkat ke ranah nasional maupun global. Sudah saatnya bukan kita jatuh hati pada beragam potensi dari negeri sendiri?
Setelah diberi waktu untuk beristirahat selama beberapa saat, acara Famtrip kali ini pun dibuka dengan pengenalan profil desa dari panitia.
Desa Tegalrejo merupakan salah satu desa wisata yang berfokus pada pembuatan batik warna alam yang diwarna dengan bahan lokal seperti jolawe, pasta indigofera, kulit pohon jati hingga limbah kayu mahoni. Tidak heran jika di sini Karena itulah jika berkunjung di desa ini, teman-teman dapat dengan mudah menemukan plang-plang rumah yang merangkap sebagai gerai sekaligus tempat produksi batik. Satu diantaranya bernama Rokechi milik Suryanti.
Lebih Dekat dengan Rokechi, Salah Satu Brand Batik Unggulan dari Desa Batik Tegalrejo
“Selamat pagi teman-teman semua. Selamat datang di Rokechi. Silahkan masuk ke gerai kecil kami”, sapa Mbak Suryanti sembari melempar senyum khasnya kepada kami. Usai mempersilahkan duduk, desainer muda jebolan Institut Seni Indonesia (ISI) ini pun mulai menceritakan lika-likunya sebagai pembatik muda dari desa.
“Semua berawal dari keprihatinan, Mbak, Mas”, ungkapnya mengawali cerita. Keprihatinan akan minimnya sumber daya manusia yang tergerak untuk mengembangkan potensi alam yang begitu melimpah dari desa, juga keprihatinan akan sedikitnya anak muda yang peduli dengan warisan budaya yang sudah lama diwariskan oleh nenek moyang kita.
“Maklum saja, saat ini gemerlapnya kota masih menjadi impian banyak generasi muda, termasuk muda-mudi di sekitar sini. Sedikit sekali anak muda yang bangga bekerja untuk membangun desa. Apalagi menjadi pembatik seperti saya ini. Padahal kalau ditelisik lebih jauh lagi, sejak dulu warga di dusun kami ini dikenal sebagai pembatik ulung. Termasuk kedua orang tua kami”, tambahnya kemudian.
Sayangnya, karena keterbatasan modal, warga kami banyak yang menggantungkan hidup sebagai buruh batik di Kecamatan Bayat. Sebuah kecamatan di Klaten yang letaknya bersebelahan dengan Kecamatan Gedangsari. Baru di tahun 2000an, batik di kecamatan kami mulai bangkit dari mati suri. Berkat ketekunan warga disertai dukungan pemerintah daerah, kini Gedangsari dikenal sebagai salah satu sentra batik warna alam di Jogja.
Berawal dari keprihatinan inilah Suryanti bertekad untuk memajukan desa melalui produksi batik warna alam di bawah naungan brand “Rokechi”. Karena itulah usai menyelesaikan kuliah ia tidak memilih untuk bekerja di perusahaan besar, melainkan memilih untuk membesarkan usaha yang ia dirikan beberapa tahun silam. Selain sebagai wujud dedikasi untuk melestarikan produk budaya dari negeri sendiri, Suryanti juga ingin memantik generasi muda agar peka pada potensi alam yang ada.
“Saat ini sudah ada empat motif batik khas Gedangsari yang terinspirasi dari sumber daya alam sekitar sini (gedang (pisang), srikaya dan bambu) seperti Motif Sekaring Gedangsari, Sekaring Gedangsari II, Ratuning Gedangsari dan Pring Sedapur. Karena ingin mengangkat potensi desa, kami memilih menggunakan pewarna alam lokal mulai dari jolawe, daun pisang, pasta indigofera, kulit manggis, kulit pohon jati hingga limbah kayu mahoni”.
Tidak disangka, berbagai kreasi dan inovasi yang selama ini dilakukan oleh para pengrajin ternyata membawa dampak positif bagi branding Batik Gedangsari, termasuk di dalamnya batik yang diproduksi di dusun kami ini. Selain mendapat warna kalem yang lebih ramah lingkungan, branding Desa Batik Tegalrejo mulai diterima oleh masyarakat luas.
Kabar baiknya lagi, beberapa tahun terakhir kami termasuk desa yang terpilih untuk mendapat pendampingan dari program Corporate Social Responsibility PT. Astra International, Tbk melalui Program Kampung Berseri Astra. Sebuah program pendampingan dari Astra untuk turut membangun Indonesia melalui integrasi 4 pilar kehidupan, meliputi pendidikan, kewirausahaan, kesehatan dan lingkungan dengan harapan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang berada di sekitar kampung binaan.
Dalam hal pendidikan, PT. Astra International, Tbk memberi berupa bantuan pada enam Sekolah Dasar, 1 Sekolah Menengah Pertama dan satu Sekolah Menengah Kejuruan. Dalam hal kewirausahaan Astra membantu branding Desa Wisata Batik di sekitar wilayah Gedangsari, salah satunya dengan mengadakan Famtrip. Selain itu Astra juga memfasilitasi kami dalam berbagai event fashion berskala lokal, nasional maupun global.
Di bidang lingkungan, kami didampingi untuk mengembangkan potensi sumber daya alam yang ada, mulai dari penanaman tanaman khas seperti pisang dan srikaya hingga pembuatan pupuk cair dan pewarna alam untuk batik. Sedangkan di bidang kesehatan, Astra memfasilitasi pemeriksaan kesehatan pada balita dan lansia seperti yang teman-teman lihat di balai desa pagi tadi.
“Di Rokechi sendiri selain memproduksi batik tulis, kami juga memproduksi selendang batik seperti ini, Mbak”, tutur Suryanti pada kami sembari menunjukkan selendang berwarna biru berlukis motif pisang dan srikaya.
Sebagai pecinta warna biru, saya langsung jatuh hati tatkala melihat hasil kreasi Mbak Suryanti yang satu ini. Usut punya usut, ternyata selendang unik ini merupakan selendang batik tulis berbahan kain tenun. “Sebuah inovasi produk yang cukup tricky”, batin saya dalam hati. Setelah dibatik, barulah selendang tenun berlapis goresan malam ini diwarnai dengan pasta indigofera.
Melihat keuletan Tim Rokechi, tidak heran jika produk batik warna alam yang berada di Dusun Tanjung RT 04 Desa Tegalrejo ini sudah wira-wiri di berbagai event fashion kenamaan mulai dari Gelar Batik Nusantara, Jogja International Batik Biennale hingga Inacraft. Berkat ketekunan para pembatik di kawasan ini, kini Kecamatan Gedangsari dikenal sebagai salah satu penghasil batik warna alam yang namanya cukup disegani.
Setelah dikenalkan dengan berbagai motif batik khas Gedangsari, kami langsung diajak untuk praktek membuat batik langsung di tempat produksi Batik Rokechi. Selesai menggambar motif, kami mulai diajari cara nyanting yang benar. “Untuk mendapat hasil batik yang baik, penggunaan lelehan malam tidak boleh lebih dari 15 detik”, ujar Mas Slamet, salah satu Tim Rokechi yang menemani kami siang itu.
“Usahakan agar malamnya tembus sampai di belakang motif batik yang kita gambar, tambahnya kemudian.
“Wah, susah juga ya, Mas!”, ujar Dyah (salah satu peserta Famtrip) menimpali.
Diluar dugaan, kami membutuhkan waktu hampir satu jam lamanya untuk menyelesaikan proses mencanting pada kain berukuran sekitar 30 x30 cm. Saat menunggu proses pewarnaan, ternyata kami diajak panitia untuk menikmati pesona Air Terjun Indah. Dengan medan yang tidak terlalu terjal, air terjun ini menawarkan berbagai spot foto alami yang begitu instagramable. Dengan jarak sekitar 300 meter saja, teman-teman dapat menikmati pemandangan terdekat dari puncak air terjun ini. Setelah puas menikmati petualangan di sekitar air terjun, kami diantar kembali menuju Gerai Rokechi untuk mengambil batik hasil workshop.
Saat memasuki rumah Mbak Yanti, ternyata kami tidak hanya disuguhi hasil batik yang telah kami buat sebelumnya, namun tersaji pula bakmi jawa goreng yang disajikan di atas piring berlapis daun pisang. Selain memiliki produk unggulan berupa batik warna alam, ternyata warga desa setempat mulai memikirkan kudapan apa yang cocok disantap para wisatawan yang kini mulai berdatangan.
Selain aneka rebusan seperti kacang, ubi dan pisang rebus, warga mulai berinovasi membuat olahan pangan yang cocok dijadikan buah tangan bagi para wisatawan. Sebagai salah satu produsen buah pisang di Jogja, warga desa mulai membuat olahan keripik pisang yang terbilang beda. Pasalnya keripik pisang di bawah naungan brand Dhateng Gedangsari ini diberi topping wijen. Sebuah inovasi sederhana yang dapat menjadi ciri khas yang membedakan keripik pisang Gedangsari dengan keripik sejenis yang diproduksi daerah lain.
Saat hendak pulang ternyata kami diberi satu kejutan lagi. Siang itu kami dibekali tas berisi keripik pisang dan peyek daun kelor. Karena penasaran, saya langsung mencicipi kedua produk ini.
“Wah, rasanya boleh juga ini!”, celetuk saya seketika.
“Tekstur keripik pisangnya empuk, tidak keras seperti beberapa olahan keripik pisang yang selama ini sama temui. Selain itu rasa manisnya pas di lidah sehingga tidak menimbulkan kesan eneg saat dinikmati. Topping wijen dan kemasan yang dapat ditutup kembali memudahkan kita untuk menyimpan atau memanfaatkan kembali kemasan snack ini”.
Ternyata tidak hanya keripik pisangnya saja yang enak. Citarasa peyek daun kelornya pun patut diadu. Gurihnya pas, topping kelornya tidak menimbulkan rasa keripik menjadi langu. Berkat kreativitas warga, tanaman yang dulunya dikenal sebagai pengusir setan ini kini menjelma menjadi salah satu produk yang mendatangkan pundi-pundi rupiah.
Jika kawan-kawan penasaran ingin berkunjung ke sini, saya sarankan untuk mengambil saja jalur dari arah Klaten. Dibanding jalur via Jalan Wonosari, jalur Klaten terbilang lebih landai tanpa acara naik-turun naik-turun club. Karena jalan di sepanjang desa belum terlalu lebar, kawasan ini baru bisa dilalui dengan sepeda motor atau mobil.
Sore itu saya pulang ke Jogja dengan penuh sukacita. Selain dapat mencicipi asyiknya berpetualang di Desa Batik Tegalrejo, saya berkesempatan pula menambah koleksi selendang batik yang siap dibawa untuk menemani petualangan saya selanjutnya. Oiya satu lagi! Di sini saya juga bisa menikmati wisata nol sampah plastik. Selain minumnya pakai gelas gerabah, tempat snacknya pun dengan pincukan. Ah, senangnya!
Terima kasih Desa Batik Tegalrejo dan Astra untuk kesempatan liburannya.
Salam hangat dari Jogja,
-Retno-
Penasaran sama keripik kelor nya yang masih terbilang langka. Kalau diupayakan, sebenarnya dari desa itu banyak sekali potensi yang bisa dijadikan lahan usaha ya. Senang bisa main ke desa yang kearifan lokal budayanya masih terjaga
Surprisingly keripiknya enak mbak. Rasanya gurih. Potongan daun kelornya ga bikin langu. Ini keripik kadang aku cemilin, kadang buat gantiin kerupuk.
Unik ya motif gedangsari akupun dulu pernah bljar mbatik ternyata gk semudah d bayangkan mesti hati2 bngt aplg klo lilinya meleber susah deh d hapus
Motif di sini tergolong baru mbak. Tapi menurut aku tetep bagus dan bisa masuk ke semua kalangan. Waktu temen-temen lihat selendang aku, mereka malah kaget di Gunung Kidul ada sentra batik warna alam.
Bersyukur sekali nggih Mbak Retno,, Desa Tegalrejo jadi desa Batik sekarang. Bener Mbak,, dulu saya pas kuliah di Jogja, tau juga kl di sana itu gersang ya, sulit air malah. Alhamdulillah sekarang jd desa Batik. Sukses ya CSR nya PT. Astra.
Sepuluh tahun lalu rata-rata tahunya Gunung Kidul memang kawasan gersang sih Mbak. Makanya aku semangat banget buat ikutan Famtrip di Desa Batik Tegalrejo ini. Dan ternyata batik warna alamnya bagus-bagus banget?
Padahal dulu Gunung Kidul terkenal banyak yang bunuh diri karena miskin
Alhamdullilah Astra masuk untuk menyalurkan csr ya
Eniwei perut auto bunyi waktu lihat mie Jawa, nampak enak banget ???
Iya mbak. Dulu Gunung Kidul selain gersang juga dikenal sebagai salah satu kawasan miskinnya Jogja. Kalau soal mie, itu enak nak nak nak banget mbak. Apalagi nyantapnya pas habis jalan-jalan ke air terjun. Habis dalam sekali kedipan, wkwk?
Wah, ternyata Gunung Kidul juga punya wisata batik, ya? Duh, baru tahu. Biasalah, selama ini kalau ingat Gunung Kidul ya tentang jejeran pantai indah dan wisata airnya.
Aku salut lho sama teman-teman yang gigih dalam mengembangkan usaha berbasis alam dan memprioritaskan kesempatan untuk penduduk sekitar agar tetap terjaga kearifan lokalnya. Ini nih yang bikin harga batik memang layak menjadi mahal.
Desa batik ini terbuka untuk umum untuk acara tertentu saja seperti yang digelar Astra ini, Mbak?
Desa wisata tegalrejo ini sudah dibuka untuk umum, Mbak. Siapa saja bisa main ke sini. Tersedia paket2 menarik juga. Tergantung mau ngapain aja. Soal transport, lebih enak kalau bawa atau sewa mobil sendiri.
Salut banget sama temen-temen relawan yang berdedikasi untuk mbangun desa. Meski dibukanya baru banget, desa wisata ini layak buat dikunjungi. Belajar batik bisa. Jalan jalan bisa. Nyicip menu pedesaan bisa. Pulangnya pun selain bisa mborong batik warna alam, bisa bawa bawa pulang cemilan yang enak-enak juga?
Bakmi Jawa dan cemilan polo pendhemnya bikin kemecerrr Mbaaa
Aku bangga dgn desa yg mengusung budaya dan wastra Nusantara seperti ini.
Keren sangaaat!
Aku pun seneng banget bisa ikut jalan-jalan di sini. Apalagi sejak dulu aku emang suka kain-kain tradisional khas nusantara. BTW batik-batik di sini bagus banget lho mbak. Harga kain batik mulai dari 500 ribu saja?
Bakmi jawanya juga enak. Mana dikasih cemilan rebusan pula. Plus jamu juga. Datang senang, pulangnya kenyang?
saya suka kudapannya deh. bakal saya ambil banyak kacang rebus, hehe. lalu itu olahan kelor sekarang lg in ya…
Sama. Aku juga love banget sama kacang rebus. Tp waktu itu aku ambil semua ding wkwk?
Sebenernya daun kelor itu tanaman yang cukup melumpah di desa. Lagi ngetrend krn mungkin manfaatnya baru-baru ini diketahui ama masyarakat luas. Pas udah pada tahu langsung booming deh. Btw peyek daun kelornya enak lho! Recommended buat dicoba?
Motif batiknya pisang ya, sesuai dengan nama daerahnya
Kalau pas mudik ke Klaten, kayaknya harus disempatkan mampir ke Gedangsari ini. Jadi lewatnya Gantiwarno atau Bayat mbak?
Iya. Motif-motifnya emang terinspirasi dari tanaman yang ada di sana, mbak. Gedang alias pisang, srikaya sama bambu. Mereka udah punya 4 motif khas yang terinspirasi dari tanaman lokal. Waktu itu lewat klaten, Mbak. Lewat Bayat. Desa Batik Tegalrejo ini ada di perbatasan Jogja Jateng.
Asyik ya mbak, dapat pengalaman baru yang bermanfaat dan seru eh pulangnya dapat oleh-oleh pula. Jadi pengen belajar membatik juga.
Bisa dibilang paket lengkap sih, Mbak. Mantap. Bisa dicoba kalau ntar ada rencana buat liburan ke Jogja.
Akupun pernah berkunjung ke desa batik tapi bukan tegal rejo. Kalo tidak salah namanya laweyan. Kalo berkunjung ke tempat seperti itu entah kenapa suasananya terasa tenang dan jauh dari hiruk pikuk kota sepwrti di Bandung
Hawanya jadi ingin extend liburan ya mbak? Kalau di Laweyan itu kan kanan kirinya pemandangan tempat produksi batik alias rumah pengrajin. Nah kalau di Desa Batik Tegalrejo ini kanan kirinya masih hutan, mbak. Hawanya sejuk banget. Jadi kalau mau jalan-jalan ke sentra batik yang hawanya desa banget, bisa agendain ke sini, Mbak?
Motif batiknya kekinian, ya Mbak. Saya lihat bentuknya pisang dan daun pisang. Jadi sudah dibuat lokalitas setempat. Memang bagus jadi lokasi wisata secara umum. Di sana, apa ada motif batik klasik, Mbak?
Emang bagus banget, Mbak. Selain menawarkan motif khas Gedangsari, pengrajin di sini juga bikin batik motif klasik. Bedanya, di sini pakai pewarna alam. Jhos banget.