Hidup Minimalis Tanpa Paksaan, Sebuah Upaya Rutin Untuk Meminimalisir Lonjakan Jejak Karbon Harian

Walau masih sekedar berangan-angan memiliki rumah modular yang minim sampah, pun belum bisa memasang solar home system di rumah maupun menggunakan mobil/sepeda motor listrik yang emisi karbonnya lebih rendah meski harganya sudah disubsidi oleh pemerintah, namun hal-hal di atas tidak sedikitpun mengendorkan semangat saya untuk tetap berkontribusi dalam mengupayakan kesehatan bumi.

Beberapa waktu belakangan, hidup minimalis tanpa paksaan menjadi upaya terbaik saya dalam meminimalisir lonjakan jejak karbon harian. Tak ayal, “Capek mengeluh panas, maka menanamlah”, menjadi salah satu quote favorit saya.

Sayangnya, akibat pandemi Covid-19 yang memporak-porandakan finansial saya, quote favorit saya di atas, suka tak suka, mau tak mau harus segera direvisi menjadi: “Capek mengeluh panas, maka menanam dan hidup minimalislah”. Apa mau dikata, semua rencana di tahun 2020 mendadak harus terhenti karena pandemi.

Alhasil sejak pandemi resmi bertandang di Indonesia, kegiatan saya jadi full di rumah saja. Seuprit halaman rumah berukuran sekitar 5×7 yang sebagian besar tanahnya sudah dikonblok dari puing bangunan yang berserakan akibat dahsyatnya gempa Jogja pada 2006 silam itu auto menjelma menjadi ruang kerja saya.

Saat teman-teman saya keturutan beli berbagai jenis tanaman berlabel variegata, saya juga menemukan kecintaan serupa. Bedanya hanya terletak pada jenis tanamannya saja. Kalau saya nanamnya tanaman pangan yang ingin saya cicipi atau suka saya masak seperti murbei, mint, daun bawang, kucai, cabai, kenikir, katuk, kelor, cabai dan lain-lain.

Pokoknya segala keperluan yang bisa dihemat, wajib dihemat. Yang mudah ditanam, coba ditanam. Selain alasan finansial, kala itu kulkas di rumah saya itu sudah mengalami tanda-tanda kerusakan, tapi belum mampu buat beli yang baru. Jadinya ada saja stok sayuran yang acap kali berakhir menjadi pakan ayam. Bukan jadi masakan di wajan ataupun tersaji di meja makan.

Bak peribahasa “wiwiting tresno jalaran seko kulino”, hingga kini kebiasaan bercocok tanam ini malah jadi salah satu kegiatan yang saya gandrungi. Untuk pertama kalinya tomat cherry saya berbuah setelah sekian lama gagal tanam. Ada juga buah delima di halaman rumah yang kembali matang dengan sempurna setelah panen agak banya pada 2017 silam.

Di sisi lain halaman ada lemon lokal, murbei, sirkaya hingga pepaya yang setahun belakangan mulai berbuah lumayan banyak. Ada pula pohon matoa yang tumbuh dari biji yang sengaja dibuang di kebun belakang. Juga daun bawang, kucai, adas, pandan, cabai, katuk, daun singkong hingga kelor yang tumbuh dengan cukup subur.

Bagi saya pribadi, dari beberapa kebutuhan primer seperti papan, sandang dan pangan (yang kini ditambah berbagai biaya lain seperti biaya transportasi, biaya listrik hingga biaya internet), pada bagian bagian pangan, penggunaan listrik dan alat transportasi lah yang dapat diminimalisir dengan mudah dan signifikan.

Pendek kata, hidup minimalis menjadi salah satu upaya saya agar kesehatan dompet, pribadi maupun bumi agar tidak kian menipis dan terkikis. Selain perkara bercocok tanam, ada beberapa hal mudah lainnya yang dapat mendukung gerakan hidup minimalis ini, seperti:

Menghabiskan makanan yang kita pesan. Meski terkesan sepele, namun selalu ada jejak karbon di setiap makanan yang kita makan. Semakin jauh dan panjang proses produksinya, maka semakin banyak pula jejak karbon yang ditinggalkan.

Dilansir dari sustaination.id menyebutkan bahwa sistem rantai makanan diperkirakan menyumbangkan emisi gas rumah kaca yang mencapai 30% dari total emisi gas rumah kaca dunia.  Jumlah ini setara dengan melepaskan gas karbon dioksida sebanyak 9,800 – 16,900 Megaton ekuivalen gas karbon dioksida (MtCO2e).

Sebanyak 86% proporsi jumlah emisi gas rumah kaca ini dihasilkan oleh bidang pertanian dan peternakan saja. Karena itulah cara terbaik untuk menghargai jejak karbon yang ditimbulkan pada proses pembuatan makanan adalah dengan mengambil seperlunya, lalu menghabiskannya.

Fakta bahwa pada tahun 2020 silam Indonesia menduduki peringkat 4 food waste terbanyak di dunia dengan jumlah sampah makanan dari sektor rumah tangga mencapai 20,94 juta metrik ton tentu dapat menjadi bahan pertimbangan kita agar semakin bijak dalam mengelola sumber pangan yang ada. Pasalnya selain dapat menimbulkan kerugian secara finansial, sampah makanan yang membusuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) berpotensi melepaskan metana dalam jumlah yang besar.

Selain dapat merusak lapisan ozon, gas metana merupakan salah satu emisi gas rumah kaca dengan dampak yang sangat merusak. Tentu kita tidak mau mengulangi tragedi ledakan di TPA Leuwigajah yang merenggut hingga 157 korban jiwa itu, bukan?

Tidak mengumbar nafsu untuk membeli perangkat elektronik terbaru. Selain dapat meminimalisir timbulnya sampah elektronik, alat elektronik jaman dulu umumnya berdaya listrik kecil. Blender lawas ibu saya ini contohnya. Daya listriknya hanya 190 Watt saja, tapi sampai saat ini fungsinya masih mumpuni.

Hidup minimalis juga dapat dilakukan dengan membeli makanan sortiran yang masih layak makan. Seperti buah naga sortiran di atas. Selain harganya jauh di bawah harga pasaran (hanya Rp4.000), membeli buah sortiran layak makan merupakan wujud nyata kita dalam mengurangi potensi sampah makanan di Indonesia.

Selain itu kita juga dapat menerapkan hidup minimalis dengan berbagai contoh berikut ini:

Semua aktivitas di atas saya lakukan demi mengurangi jejak karbon harian. Sebuah istilah untuk menyebut proses pelepasan karbon ke lapisan atmosfer bumi. Lonjakan jejak karbon inilah yang ditengarai menjadi salah satu penyumbang terjadinya perubahan iklim karena dapat memicu naiknya suhu bumi, yang dikenal luas dengan sebutan efek rumah kaca. Berkaca dari hal inilah Indonesia turut berkomitmen melakukan pengurangan emisi dengan menandatangani Paris Agreement pada 2016 silam.

Isi dari Kesepakatan Paris tersebut meliputi upaya 195 negara dalam membatasi kenaikan suhu global sampai di angka minimum 1,5º Celcius dan di bawah 2º Celcius untuk tingkat pra industri serta mengurangi tingkat emisi gas rumah kaca dan aktivitas serupa hingga mencapai target emisi net zero pada 2050 nanti. Namun khusus untuk Indonesia, target emisi net zero mundur 10 tahun (2060).

Lantas bagaimana cara kita mengetahui seberapa besar jejak karbon yang kita tinggalkan? Seiring dengan perkembangan teknologi, teman-teman dapat mengitungnya dengan mudah melalui karbon kalkulator yang dapat diakses di http://jejakkarbonku.id/ 

Karbon kalkulator dapat menghitung besaran emisi karbon yang kita produksi sehari-hari, lengkap dengan perbandingan rerata emisi karbon orang Indonesia, ASEAN hingga global.Tenang, proses penghitungannya terbilang mudah, kok. Tinggal masuk ke http://jejakkarbonku.id/ lalu jawab semua pertanyaannya. Kalau sudah pernah mencoba, jangan lupa share ke sosmed ya!

Dengan jejak karbon yang terkendali, kontribusi dalam mengupayakan kesehatan bumi menjadi selangkah lebih pasti. Ditambah dengan hidup minimalis, tentu hasilnya akan jauh lebih baik lagi.

Salam hangat dari Jogja,

-Retno-

#jejakkarbonku.id #iesr #generasienergibersih

Sumber Referensi:

Talkshow Tempo Media Week 2023 dengan tema “Rumah Modular Sebagai Alternatif Perumahan Masa Kini yang Ramah Lingkungan” yang dihelat pada hari Rabu, 1 Maret 2023

https://amp.kompas.com/skola/read/2022/03/25/143000069/paris-agreement–asal-usul-dan-isi-perjanjiannya
https://greeneration.org/publication/green-info/tpa-leuwigajah-cikal-bakal-hpsn/
https://www.google.com/amp/s/lindungihutan.com/blog/emisi-karbon/%3famp=1
https://lestari.kompas.com/read/2023/05/16/190000086/indonesia-peringkat-4-food-waste-terbanyak-di-dunia
https://m.antaranews.com/amp/berita/2706181/kebutuhan-rumah-masyarakat-tak-surut-meski-pandemi-masih-melanda

Retno Septyorini

Perkenalkan, nama saya Retno Septyorini, biasa dipanggil Retno. Saya seorang content creator dari Jogja. Suka cerita, makan & jalan-jalan. Kalau ke Jogja bisa kabar-kabar ya..

YOU MIGHT ALSO LIKE

No Comment

Leaver your comment