Bahu-Mambahu Menahan Laju Perubahan Iklim
Sejujurnya saya tidak begitu kaget saat melihat ceceran sampah di beberapa spot di Jalan Ring Road Selatan, Jogja seperti yang sempat saya potret pada Kamis, 26 Oktober 2023 lalu. Saya hanya menyayangkan mengapa perkara sampah organik saja harus dibuang di pinggir jalan seperti ini. Bahkan satu dari sekian banyak sampah yang berceceran tersebut ada yang ditampung dengan karung dan kotak kayu besar. Bukan plastik berukuran sedang lagi.
Padahal mengkompos sampah organik terbilang mudah. Selain bisa dikompos dengan perangkat komposer sederhana, sampah organik juga bisa dimasukkan dalam lubang biopori. Dengan prinsip yang sama, sampah organik dapat diolah menjadi media tanam yang subur. Mengesalkannya lagi, saya melewati ceceran sampah tersebut tepat tatkala suhu di Jogja terasa lebih panas dari biasanya. Selain berkaitan dengan posisi matahari yang berada di atas bumi belahan selatan, peningkatan suhu di Pulau Jawa pada bulan Oktober ini juga diperparah dengan efek El Nino.
Dilansir dari website resmi BMKG, fenomena El Nino membuat angin pasat yang biasa berhembus dari timur ke barat menjadi melemah atau bahkan berbalik arah. Pelemahan ini dikaitkan dengan meluasnya suhu muka laut yang hangat di timur dan tengah Pasifik. Air hangat yang bergeser ke timur menyebabkan penguapan, awan dan hujan pun ikut bergeser menjauh dari Indonesia. Dengan kata lain fenomena El Nino dapat meningkatkan risiko kekeringan di Indonesia.
Suhu panas yang kurang bersahabat, ditambah menumpuknya sampah di Tempat Pembuangan Akhir Terpadu (TPST) Piyungan sehingga sempat ditutup pada September lalu membuat fenomena pembuangan sekaligus pembakaran sampah di berbagai ruas jalan di sekitar Jogja kembali marak. Kalau di musim kemarau saja kita tidak bisa membereskan masalah sampah, apa jadinya jika musim hujan tiba?
Lebih Dekat dan Berdaya dengan Limbah Rumah Tangga
Saya agak bergidik mendapati data bahwa di tahun 2020 silam Indonesia menduduki peringkat 4 food waste terbanyak di dunia dengan jumlah sampah makanan dari sektor rumah tangga mencapai 20,94 juta metrik ton. Fakta di atas tentu patut menjadi pertimbangan kita untuk kian bijak dalam mengelola sumber pangan yang ada, bukan? Utamanya dalam mengelola sampah skala terkecil di muka bumi ini. Apalagi kalau bukan sampah dari rumah kita sendiri.
Pasalnya, selain dapat menimbulkan polusi udara, sampah makanan yang membusuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) berpotensi melepaskan metana dalam jumlah yang besar. Selain dapat merusak lapisan ozon, gas metana merupakan salah satu emisi gas rumah kaca dengan dampak yang sangat merusak. Tentu kita tidak mau mengulangi tragedi ledakan di TPA Leuwigajah yang merenggut hingga 157 korban jiwa itu, bukan?
Padahal kalau mau sedikit saja bergerak untuk mengurus sampah organik harian, kita dapat meminimalisir dampak kerusakan lingkungan sekaligus berpotensi untuk mendulang cuan. Di rumah saya, sampah makanan yang sudah tidak memungkinkan dimasak ulang akan berakhir menjadi pakan ayam. Begitu pula dengan sayuran mentah berumur tua dari halaman rumah. dedaunan tersebut akan dicacah sebagai bahan tambahan makanan untuk ayam peliharaan.
Meski terkesan sepele, hasilnya terbilang lumayan. Selain dapat mengurangi biaya pembelian pakan, kesehatan ayam yang diberi tambahan pakan alami dapat lebih terjaga. Berdasarkan pengalaman pribadi, kondisi ayam yang sehat akan lebih cepat untuk bertelur kembali. Apalagi jika ayamnya diumbar di pekarangan. Tidak heran banyak orang di lingkungan pedesaan memilih memelihara ayam sebagai salah satu upaya dalam mengurangi sampah makanan dalam di rumah.
Di rumah saya sendiri ada beberapa jenis dedaunan yang biasa dijadikan tambahan pakan ayam. Ada daun pepaya, daun singkong, daun singkong jepang hingga daun kelor. Kabar baiknya, keempat jenis tanaman ini tidak memerlukan pemeliharaan yang cukup berarti. Istilahnya didiamkan saja pun dapat hidup dengan baik. Urusan mau petik yang mana tinggal dirolling saja sesuai selera. Daun mudanya dimasak untuk orang rumah, daun tuanya dicacah sebagai pendamping katul. Sebutan untuk pakan ayam yang dibuat dari gilingan kulit biji padi.
Lain halnya jika sampah organiknya berupa batang sayur, seperti kangkung, daun bawang, batang katuk ataupun batang mint. Biasanya sampah batang seperti ini biasanya akan saya regrow di halaman rumah. Meski terbilang sempit, namun sebisa mungkin halaman rumah saya isi dengan beragam tanaman pangan. Selain dapat mengurangi anggaran belanja, keluarga saya dapat menikmati kualitas sayur yang jauh lebih sehat karena dipupuk dengan bahan alami seperti air bilasan beras, kompos dari dedaunan kering hingga pupuk kandang dari kotoran ayam.
Meski terkesan sepele, namun memiliki tanaman pangan di sekitar rumah terbilang sangat membantu dalam meminimalisir sampah organik yang berasal dari sisa makanan harian kita. Ibarat memiliki kulkas hidup, sisa bahan makanan yang kita petik dari halaman rumah kondisinya akan tetap segar. Plus tidak memerlukan daya listrik seperti kalau kita menyimpan bahan makanan di dalam kulkas.
Kalau diingat-ingat lagi, keberadaan kulkas hidup ini sangat membantu tatkala keluarga saya terkena Covid-19. Meski banyak kerabat dan tetangga yang berbaik hati mengirimkan berbagai jenis lauk-pauk dengan mencantelkannya di pintu rumah, namun saat isolasi mandiri itu tiba, berbagai tanaman pangan di halaman rumah inilah yang menjelma sebagai pemasok utama sayuran untuk keluarga kami.
Belajar dari pandemi yang baru saja terjadi, memiliki stok tanaman pangan di halaman ternyata menawarkan beragam manfaat yang menyenangkan, baik untuk menunjang kesehatan mental maupun finansial. Saya sendiri merasakan kalau tanaman yang kita besarkan dengan tangan sendiri akan lebih sayang untuk dibuang. Alhasil selain metiknya benar-benar diperhitungkan, masaknya pun dibuat sesuai kebutuhan.
Saat memetik daun bawang misalnya. Ternyata memetik daun beraroma tajam ini ada triknya sendiri. Ibu saya mengajari kalau memetik daun bawang itu dimulai sisi terluar terlebih dahulu. Pasalnya selain perkara umur daun yang sudah tua, daun bawang di sisi luar kebanyakan sudah mengalami pembengkokan. Meski terkesan sepele, namun hal sederhana macam ini terbukti dapat meminimalisir timbulnya sampah bahan pangan dari halaman.
Dua tanaman dari halaman rumah yang hampir setiap hari saya konsumsi adalah daun bawang dan daun mint. Kabar baiknya, keduanya merupakan tanaman yang paling sering saya regrow. Selain penanganannya terbilang mudah, daun bawang dan mint merupakan tanaman pangan yang masa pertumbuhannya terbilang cepat. Apalagi kalau kita sudah hafal dengan treatment keduanya. Meski hanya punya beberapa pot saja, niscaya dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Hal serupa juga terjadi pada stok cabai di rumah. Karena stok cabai terbilang melimpah, tiga bulan terakhir, ibu sudah jarang beli cabai di warung. Khusus untuk cabai, keluarga saya menggunakan sistem tebar benih cabai. Pokoknya kalau ada cabai yang kondisi kulitnya sudah tidak baik tapi isi cabainya masih utuh. Nantinya biji cabai tersebut akan disemai di dalam pot. Kalau sudah tumbuh agak besar, baru ditanam di beberapa spot halaman. Begitu, seterusnya.
Lantas, bagaimana dengan kabar sampah anorganik dari dalam rumah? Di kompleks rumah saya, sampah anorganik seperti botol bekas air mineral biasanya dikumpulkan untuk didonasikan pada Komunitas Arisan Dasawisma. Sebutan untuk kelompok arisan per 10 rumah yang digalakkan di pedesaan. Sedekah sampah di komunitas ini juga menerima aneka jenis kardus dan bekas berbagai kemasan produk berbahan kertas.
Hasil penjualan sampah nantinya dimasukkan dalam kas komunitas dan digunakan untuk membantu pembiayaan berbagai aktivitas sosial di kampung. Sisa sampah lainnya biasanya akan diambil oleh petugas sampah di kampung. Tapi khusus untuk kulit telur dan sampah bumbu dapur, seperti kulit bawang putih, kulit bawang merah dan kulit bawang bombay akan dikumpulkan untuk dijadikan bahan pupuk alami.
Menahan Laju Perubahan Iklim dengan Meminimalisir Jejak Karbon Harian
Selain perkara sampah, kita dapat bahu-membahu menahan laju perubahan iklim dengan meminimalisir jejak karbon harian. Jejak karbon harian merupakan istilah untuk menyebut proses pelepasan karbon ke lapisan atmosfer bumi. Lonjakan jejak karbon inilah yang ditengarai menjadi salah satu penyumbang terjadinya perubahan iklim karena dapat memicu naiknya suhu bumi, yang dikenal luas dengan sebutan efek rumah kaca.
Itulah mengapa salah satu cara termudah menahan laju perubahan iklim dapat dilakukan dengan menerapkan gaya hidup minimalis. Selain dapat meminimalisir potensi timbulnya sampah, hidup minimalis juga dapat diartikan lebih sedikit dalam menggunakan energi sekaligus melepas karbon ke atmosfer bumi. Lantas, apa saja yang bisa kita lakukan untuk meminimalisir laju perubahan iklim yang kian hari dampaknya kian menjadi-jadi ini?
Kalau ditanya hal termudah untuk menahan laju perubahan iklim, maka saya akan menjawabnya dengan menerapkan gaya hidup slow fashion. Slow fashion merupakan sebuah gerakan berkesadaran untuk menggunakan produk fashion yang lebih mengedepankan kualitas daripada kuantitas. Dengan pemilihan kualitas bahan yang baik diharapkan dapat memperpanjang usia pakai produk fashion terkait.
Memiliki pengalaman bekerja di pabrik tekstil di awal meniti karir cukup membuka mata saya akan panjangnya perjalanan dalam membuat sehelai kain yang biasa diproduksi dalam satuan yard itu. Apalagi data juga menunjukkan bahwa untuk memproduksi satu kaos saja dibutuhkan hingga 2.700 liter air. Kalau satu galon rata-rata berisi 19 liter, berarti produksi sepotong kaos membutuhkan air hingga 142 galon. Jumlah yang cukup mencengangkan di tengah krisis air bersih yang terjadi di banyak penjuru bumi.
Belum lagi perkara pewarna kimia dan dampaknya bagi kesehatan lingkungan. Juga belum berbicara soal kesejahteraan hingga kelayakan pabrik yang digunakan dalam proses pembuatan serat hingga menjadi pakaian siap jual. Tentu kita tidak ingin mengulang tragedi ambruknya pabrik Rana Plaza di Bangladesh yang memakan korban jiwa lebih dari 1000 buruh itu, bukan?
Sisi kelam tragedi ambruknya pabrik Rana Plaza yang sempat diangkat menjadi film dokumenter bertajuk The True Cost tentu mengajarkan banyak hal pada kita semua. Utamanya dalam berkesadaran saat memilih trend fashion yang kita kenakan sehari-hari. Apapun alasannya, slow fashion tetap menawarkan benefit yang jauh lebih banyak. Baik untuk para pekerja yang berkecimpung di industri ini, pengeluaran terkait pemenuhan pakaian hingga kesehatan lingkungan yang lebih berkelanjutan.
Perkara pemilihan pakaian memang gampang-gampang susah. Pasalnya setiap orang memiliki seleranya masing-masing. Tapi perihal cara meminimalisir sampah fashion, kita bisa berpartisipasi dari berbagai lini. Saya sendiri cenderung menyukai kain-kain tradisional karya para local champion kita seperti batik, lurik ataupun sasirangan. Pokoknya jenis kain tradisional yang tidak begitu tebal sehingga tetap nyaman untuk dikenakan dalam berbagai suasana.
Puluhan tahun mengenakan kain tradisonal, saya merasa bahwa kain yang dibuat oleh para pengrajin dari berbagai daerah ini ternyata menawarkan kualitas yang sangat baik. Utamanya jenis kain lurik yang diproduksi secara manual. Beragam pakaian saya yang berbahan lurik tradisonal terbukti awet hingga puluhan tahun. Selain terasa adem dan nyaman saat dikenakan, pakaian lurik yang sudah lama saya simpan ternyata tidak ada yang berlubang lho!
Biasanya pakaian saya mulai pensiun bukan karena rusak, tetapi karena sudah tidak muat lagi. Ngomong-ngomong soal fashion, saya jadi ingat sebuah grup prelove yang sudah tiga tahun ini saya ikuti. Saya ingat betul awal mula bergabung dengan grup ini karena saya sedang mencari tas make up untuk dibawa ke luar kota. Kebetulan adik saya menikah saat pandemi sedang heboh-hebohnya. Alhasil saya memutuskan untuk menggunakan make up sendiri.
Saat mencari prelove-an tas make up inilah saya diberitahu seorang kawan bahwa ada yang tengah menawarkannya di grup. Jadilah saya bergabung dengan grup prelove tersebut. Tiga tahun berada di grup prelove ini membuat saya menyadari betapa peliknya memperpanjang usia pakai sebuah produk fashion. Karena apapun merk-nya, semurah apapun harga yang ditawarkan ternyata tidak menjamin barangnya laku, lho man-teman semua! Jadi upayakan untuk selalu bijak sebelum memutuskan untuk membeli suatu barang. Paling pas ya membeli sesuai kebutuhan. Bukan sesuai keinginan.
Di lain sisi, pandemi juga menyadarkan saya akan pentingnya hidup minimalis. Alasannya sesederhana “Saya belum bisa mengganti kebutuhan masker medis yang saya gunakan untuk beraktivitas di luar rumah”. Sebagai bentuk dari win-win solution, saya berkomitmeñ untuk meminimalisir resiko sampah harian yang saya hasilkan. Satu diantaranya saya lakukan dengan konsisten mengurangi penggunaan berbagai produk berbahan plastik.
Selain membawa kantong belanja sendiri saat berbelanja, saya juga mulai mengganti penggosok punggung berbahan plastik dengan loofah. Sebutan untuk penggosok punggung alami yang terbuat dari oyong. Dengan harga sekitar Rp 25.000, saja, saya sudah dapat membawa pulang loofah yang nyaman, lengkap dengan pegangan kayu yang terbilang kuat. Kalau pun usia pakainya sudah habis, jika dibandingkan dengan penggosok badan berbahan plastik, loofah tentu jauh lebih mudah untuk didaur ulang, bukan?
Hal lain yang konsisten saya lakukan untuk meminimalisir jejak karbon adalah memilih menggunakan transportasi publik saat bepergian jauh. Selain sejalan dengan prinsip penghematan tenaga dan ” isi kantong”, transportasi publik juga menawarkan kenyamanan yang memadai. Beberapa waktu belakangan, saat saya ada keperluan ke luar kota, saya memilih untuk naik kereta api. Saat piknik ke Solo ini misalnya. Saya dan beberapa sahabat akhirnya menambatkan hati untuk naik KRL.
Terakhir nengok adik ke Depok pada bulan Maret silam juga laju dengan kereta jarak jauh. Saya tim realistis saja. Kalau ada yang lebih nyaman dan terjangkau, kenapa harus cari yang lebih mahal dan lebih menguras energi. Begitu pula saat berkesempatan untuk mengikuti salah satu kegiatan bertajuk Searah Rasa “Kilas Balik Kuliner Era Pangeran Diponegoro” di Desa Wisata Purwosari, Kulon Progo di awal bulan ini.
Daripada berkendara sendiri menuju titik kumpul di Alun-Alun Wates, saya lebih memilih untuk naik kereta bandara. Dengan kereta bandara, jarak tempuh dari Stasiun Tugu menuju Stasiun Wates hanya sekitar 30 menit saja. Mana harga tiketnya pun terbilang murah. Untuk sekali jalan hanya perlu merogoh kocek sebesar Rp 10.000, saja. Karena titik kumpulnya berada tak jauh dari stasiun, saya dan beberapa kawan memilih untuk jalan kaki saja.
Ini sekelumit cerita saya dalam menerapkan hidup minimalis di lingkungan keluarga. Bagaimana dengan cerita teman-teman semua? Jangan sungkan untuk share di sini, ya! Lagian, kalau bukan kita yang bahu-membahu dalam menahan laju perubahan iklim, mau siapa lagi coba?
Salam hangat dari Jogja,
-Retno-
Referensi:
Azkiya Balkis, 2022. Paris Agreement: Asal-usul dan Isi Perjanjiannya diakses dari https://amp.kompas.com/skola/read/2022/03/25/143000069/paris-agreement%E2%80%93asal-usul-dan-isi-perjanjiannya
Fizriyani Wilda, 2022. Mewaspadai Bahaya Produksi Katun terhadap Ketersediaan Air di Bumi, diakses dari https://literat.republika.co.id/posts/85191/mewaspadai-bahaya-produksi-katun-terhadap-ketersediaan-air-di-bumi
Gea Yemita, 2023. Fast Fashion dan Dampak Buruknya, diakses dari https://lindungihutan.com/blog/fast-fashion-dan-dampak-buruknya/#rb-apa-itu-fast-fashion
Saraswati, A. 2023. Luluh Lantak TPA Leuwigajah Cikal Bakal HPSN, diakses dari https://greeneration.org/publication/green-info/tpa-leuwigajah-cikal-bakal-hpsn/
Sekilas Tentang ENSO, diakses dari https://www.bmkg.go.id/iklim/elnino.bmkg
No Comment